Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
dakwatuna.com
- “Tetapi Ibu, bukankah kita telah
mengangkatnya sebagai amirul-mukminin, pemimpin orang-orang beriman? Berarti
semua perintah-perintahnya yang sejalan dengan perintah agama harus kita
patuhi, baik ia tahu ataupun tidak tahu. Tanggung jawab kita bukan kepada
Khalifah, melainkan kepada Allah.”
Masih
terngiang di telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang
gadis kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang
akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak penjual susu
yang dicuri dengarnya semalam.
Saat
itu malam gelap gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah
dibuai mimpi, kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik rasa
tanggung jawab maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia selalu gelisah
seperti itu, sehingga tidak pernah sekejab pun dapat berdiam diri.
Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang sepi itu.
Bertemankan kegelapan malam yang hitam pekat bagai tirai dan angin dingin
menyusup tulang.
Orang
itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat.
Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang
masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena
sakit, atau barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.
Ia
selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan umatnya yang luput dari perhatiannya
karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan
pertanggungjawabannya. Diperhitungkan senti demi senti, butir demi butir, dan
tak mungkin ada yang terlewat dari penglihatan Allah swt.
Orang
itu adalah Umar bin Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah
panjang jalan dan lorong dilaluinya malam itu hingga tubuhnya letih. Keringat
mengalir di sekujur badan meski udara dingin membalut. Oleh karena itu,
disandarkannya tubuh besarnya pada dinding gubuk rombeng. Saking lelahnya, ia
duduk di tanah mencoba istirahat sejenak. Jika letih kakinya agak berkurang, ia
bermaksud melanjutkan perjalanan ke masjid. Tidak lama lagi fajar menampakkan
diri, azan Subuh segera berkumandang.
Saat
bersamaan seorang gadis remaja berpakaian compang camping baru saja memerah
susu kambingnya untuk dijual besok pagi. Di luar rumahnya yang rombeng, hampir
roboh serta dikelilingi belukar meranggas. Penghuninya cuma dua orang, ibu tua
dan anak gadisnya yang meningkat remaja. Tidak ada orang lelaki di rumah
mereka, sebab ayah si gadis sudah meninggal dunia.
Tiba-tiba
Khalifah yang sedari tadi bersandar, mendengar ada suara lirih dari dalam gubuk
itu. Suara itu seperti percakapan dua orang wanita. Yang satu ibu bagi yang
lain, agaknya mereka membicarakan susu yang baru saja diperah dari kambing
untuk dijual ke pasar pagi hari nanti.
Si
ibu meminta anak gadisnya mencampur susu itu dengan air. Dengan begitu, akan
jadi lebih banyak dan tentunya uang yang diperoleh nantinya akan bertambah,
setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka hari itu.
“Tidakkah
kaucampur susu daganganmu dengan air? Subuh telah datang!” kata sang ibu. Anak
gadisnya menjawab, “Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul
Mukminin telah melarang mencampur susu dengan air?” Sang ibu menimpali,
”Orang-orang telah mencampurnya. Kau campur saja. Toh, Amirul Mukminin tidak
akan tahu.” Sang gadis menjawab,” Jika Umar tidak tahu, Tuhan Umar pasti tahu.
Aku tidak akan mencampurnya karena Dia telah melarangnya.”
Dialog
ibu dan anak ini sungguh sangat menyentuh Umar. Khalifah yang terkenal keras
itu pun luluh dan terharu hatinya. Beliau sangat kagum dengan ketakwaan gadis
miskin anak penjual susu itu. Ucapan terakhir gadis itulah yang membuat airmata
Umar berderai. Ia tak kuasa menahan haru yang memenuhi dadanya. Airmata itu
bukan airmata kesedihan. Tapi, airmata bangga dan penuh kegembiraan. Kebanggaan
akan perilaku kesalehan gadis pemerah susu yang luar biasa.
Di
usianya yang masih remaja, gadis itu tumbuh dalam sosok kesahajaan. Ditempa
dalam suasana kerja keras, membanting tulang siang malam menyiapkan perahan
susu jualannya. Tak ada keluh kesah, semuanya dilakoni dengan penuh bakti
kepada ibu tercinta. Hal yang menarik lagi adalah kematangan jiwanya melebihi
batas usia remajanya.
Kesahajaannya
tampak dalam penampilan, tutur kata dan cita-cita. Dalam dirinya hanya ada satu
keinginan yang kuat yaitu agar Allah meridhai semua yang dilakukannya. Ajakan
sang ibu ditepisnya mentah-mentah karena dinilai bertentangan dengan hukum.
Namun begitu hal tersebut tidak lantas membuat hati si ibu tersinggung. Bahkan dia merasa tercerahkan dengan kesalehan putri semata wayangnya ini.
Namun begitu hal tersebut tidak lantas membuat hati si ibu tersinggung. Bahkan dia merasa tercerahkan dengan kesalehan putri semata wayangnya ini.
Tentu
ceritanya jadi berbeda kalau kita tarik dengan fenomena ‘mama mia’ sekarang
ini. Sekelompok ibu-ibu yang terobsesi dengan anak-anak mereka agar bisa tampil
sebagai bintang film, bintang sinetron, bintang iklan dan sebagainya. Tidak
peduli kalaupun harus mengumbar aurat, berlenggak lenggok ditonton banyak orang
yang penting mendatangkan kocek yang tebal. Walaupun mereka harus
merengek-rengek, membujuk, merayu dengan berbagai cara dengan satu keinginan
‘bisa jadi selebritis’. Astaghfirullah.
Sementara
si pemerah susu ini, hanya berkutat di rumah, melayani ibu dan dagangannya. Tak
ada baju mewah, tak ada perhiasan, tak ada parfum yang menjadi kelaziman di
usianya. Barangkali kalau sekarang dia tak kenal bioskop, tak kenal diskotik,
mall apalagi hotel. Walaupun kini menjadi lumrah bagi remaja yang memiliki
orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar,
mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga
dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu
berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Perilaku
konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja
sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui
eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan
itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya
itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang
in. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa
atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan
substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja
menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha
yang dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya.
Menjadi
masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja ini dilakukan
secara berlebihan. Pepatah “lebih besar pasak daripada tiang” berlaku di sini.
Terkadang apa yang dituntut oleh remaja di luar kemampuan orang tuanya sebagai
sumber dana. Hal ini menyebabkan banyak orang tua yang mengeluh saat anaknya
mulai memasuki dunia remaja. Dalam hal ini, perilaku tadi telah menimbulkan
masalah ekonomi pada keluarganya.
Perilaku
konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja.
Berabenya life style ini terbawa sampai dewasa. Sementara gaya hidup konsumtif
ini perlu dukungan modal dan kekuatan finansial yang tidak sedikit. Maka
masalah lebih besar akan terjadi bila pencapaian tingkat finansial itu
dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja
yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi dan penipuan.
Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga
dampak psikologis, sosial bahkan akhlaq.
Sebaliknya,
gadis tokoh kita ini hidup di sebuah desa sebagai pemerah susu. Dengan rumah
dari pelepah kurma, berlantai tanah. Makan dari hasil jualan susunya tiap hari.
Pakaian compang camping dan bayangkan tiap hari bertemankan kambing-kambing
yang harus diperahnya. Namun hidupnya tenang, tidak ada iri dan panas hati
melihat rezeki orang lain. Keluarga ini rajin beribadah. Dan, dunia seolah
sudah berhenti berputar karena dari hari ke hari hidup dengan keadaan yang
terus begitu. Keluarga miskin ini pun hidup tenteram di tanah padang pasir yang
tandus. Tapi, itulah anugerah Tuhan dan mereka mensyukurinya. Apa tidak hebat
mereka.
Apa
jadinya dengan seorang ibu rumah tangga yang suaminya cukup terpandang dan
berpenghasilan baik. Ia dapat makan lebih dari cukup. Rumahnya cukup besar. Dapat
menyekolahkan anak-anak dan memberi mereka uang saku yang cukup. Namun, ia
merasa dirinya masih sial dan miskin. Sepanjang hari ia irihati kepada mereka
yang sederajat dengan suaminya, tetapi memiliki mobil lebih bagus, perabot
rumah lebih ngejreng dan simpanan di bank ratusan juta rupiah. Ibu ini
menderita batin, karena merasa dirinya tidak beruntung, merasa dirinya masih
miskin.
Dalam
kehidupan kita, tak sedikit orang yang dendam dengan kemiskinan. Kemiskinan
dilihat sebagai monster mengerikan yang harus dibunuh. Bahkan dengan cara
apapun. Pertarungan dengan monster kemiskinan ini, melibatkan banyak taktik dan
tipu muslihat. Bagi yang rapuh menghadapi serangan monster ini, Iblis amat kuat
sebagai pendukung dan pembisik.
Tak heran jika, orang kemudian korupsi. Pejabat main sikat. Pemimpin pun, lupa pada amanahnya sebagai pemimpin rakyat. Seorang pemimpin bisa berbalik, menjadi pemimpin untuk kelanggengan dinasti kekayaan dan keluarganya, agar kemiskinan tak terwarisi turun temurun.
Tak heran jika, orang kemudian korupsi. Pejabat main sikat. Pemimpin pun, lupa pada amanahnya sebagai pemimpin rakyat. Seorang pemimpin bisa berbalik, menjadi pemimpin untuk kelanggengan dinasti kekayaan dan keluarganya, agar kemiskinan tak terwarisi turun temurun.
Hidup
miskin telah dianggap sebagai aib, bukan dilihat sebagai guru kehidupan. Karena
aib, tatkala seorang miskin merangkak kaya, ia malu ‘kecepretan’ orang miskin
lain. Standar hidupnya naik, gaya hari-harinya berubah. Tiap aktivitasnya,
dipenuhi polah tingkah yang neko-neko.
Di masyarakat, hal demikian selalu hadir dalam rutinitas hidup di desa dan perkotaan. Berjuta keluarga miskin rela tak makan, tapi ia terpuaskan menonton sinetron melalui televisi layar datar di rumahnya yang reot. Meski hasil kreditan. Musik dangdut dengan sound system menggelegar, bersaing antar satu kontrakan dengan kontrakan lain. Hiburan diri yang sesaat diperjuangkan, sementara nasib pedidikan anak-anaknya dilupakan.
Di masyarakat, hal demikian selalu hadir dalam rutinitas hidup di desa dan perkotaan. Berjuta keluarga miskin rela tak makan, tapi ia terpuaskan menonton sinetron melalui televisi layar datar di rumahnya yang reot. Meski hasil kreditan. Musik dangdut dengan sound system menggelegar, bersaing antar satu kontrakan dengan kontrakan lain. Hiburan diri yang sesaat diperjuangkan, sementara nasib pedidikan anak-anaknya dilupakan.
Mentalitas
demikian, tak hanya melekat dalam diri masyarakat kecil. Ia juga telah membudaya
dalam kehidupan sebagian besar elit di negeri ini. Dendam kemiskinan, memaksa
mereka menumpuk-numpuk kekayaan. Aji mumpung tak terbendung. Pun, hingga liang
lahat kekayaan itu harus tercitrakan dalam bentuk kuburan berdinding batu
pualam. Jika perlu dilapisi emas. Tak peduli, apakah kepergiannya ke alam baka,
meninggalkan sanak keluarga dan tetangga yang kelaparan.
Lebih
dari itu, sebenarnya apa yang harus dicari dalam hidup ini. Kaya raya tetapi
tidak pernah tenang hatinya, selalu panas, iri dan merasa masih belum kaya.
Atau sebaliknya, menyadari kekurangan lalu menerima kekurangan itu apa adanya
dan menjalankan hidup ini sebaik mungkin, yakni tidak menyakiti orang lain dan
takwa kepada Nya. Sebab sesungguhnya, kemiskinan bukan suatu penderitaan. Semua
tergantung pada sikap kita. Harta milik adalah rezeki, keberuntungan juga
akibat usaha kita. Manusia boleh berusaha tetapi rezeki tetap bukan kita yang
menentukan. Tuhan tetap memberikan rezeki, baik kepada orang jahat maupun
saleh.
Nyatanya
kita berusaha hidup baik dan keras berikhtiar, tetapi rezeki yang kita dapat
pas-pasan. Sebaliknya, ada orang yang suka manipulasi, pemalas, mau enaknya
sendiri saja, namun rezekinya terus mengalir. Sikap kita menghadapi rezeki dan
kekayaan. Sikap kita dalam menghadapi ketidakberuntungan dan kemiskinan, akan
menentukan apakah kita akan menderita atau tidak.
Penderitaan
itu bukan hanya berasal dari persoalan harta milik. Penderitaan bukan hanya
berasal dari kemiskinan. Penderitaan berasal dari sikap hidup kita sendiri.
Sikap untuk menerima kenyataan sebagai kenyataan yang harus diterima. Pada
waktu kita beruntung, kita harus terima dengan rasa syukur. Pada waktu kita
tidak beruntung, kita terima sebagai kenyataan yang harus demikian. Dengan
sikap hidup yang siap menerima apa adanya, sambil kita sendiri berusaha
berperilaku seperti yang kita anggap paling baik, tentunya sesuai hati nurani
paling bersih maka dunia menjadi terang. Kita pun akan hidup seperti gadis
pemerah susu yang hidup sederhana di padang pasir yang tandus itu.
Pendek kata, penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan ada dalam hati manusia, dalam sikap hidup. Sesungguhnya merasa disingkirkan, tak disenangi lingkungan adalah penderitaan juga. Merasa tertekan, tidak bebas adalah penderitaan. Merasa berbuat salah adalah penderitaan. Menanggung sakit berat adalah penderitaan. Dihina dan direndahkan orang adalah penderitaan. Dan, seribu satu macam sumber penderitaan lain.
Pendek kata, penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan ada dalam hati manusia, dalam sikap hidup. Sesungguhnya merasa disingkirkan, tak disenangi lingkungan adalah penderitaan juga. Merasa tertekan, tidak bebas adalah penderitaan. Merasa berbuat salah adalah penderitaan. Menanggung sakit berat adalah penderitaan. Dihina dan direndahkan orang adalah penderitaan. Dan, seribu satu macam sumber penderitaan lain.
Terlalu
sempit jika memandang bahwa penderitaan itu adalah gambaran sebuah kemiskinan.
Padahal, wilayah penderitaan manusia itu sangat luas, bukan hanya soal
kemiskinan atau kepemilikan harta benda. Penderitaan itu tidak pandang bulu.
Yang kaya, yang miskin, yang berkuasa, yang terkenal, yang gagah, yang buruk
rupa, yang tua, yang muda, semua mengenal penderitaan. Setiap manusia mengenal
penderitaan.
Kemiskinan
sebagai penderitaan sebenarnya pandangan kapitalistik. Hidup itu untuk memiliki
harta benda sebab harta dan kekayaan itu akan menghasilkan kekayaan lagi.
Kekayaan, itulah tujuan akhir kapitalisme. Bagi mereka yang masuk ke dalam
golongan ini, kekayaan berlimpah adalah kebahagiaannya. Itulah citra
kebahagiaan manusia sekarang. Akibatnya, orang mencoba “membeli” kekayaan
dengan cara apa pun, hanya agar dikira bahagia. Memang, tampaknya hal yang
mengada-ada.
Namun,
kondisinya memang nyata. Orang akan merasa bahagia kalau memiliki banyak uang
tabungan, deposito berdigit M, usaha di mana-mana, dan terus menghasilkan uang.
Akibatnya, muncul kebahagiaan dengan berbagai simbol kekayaan “Rumahnya di
daerah mana sih?; Mobilnya merk apa ya? Eh, sepatunya buatan mana? Week end-nya
dimana”, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup risih didengar oleh mereka
yang tidak biasa mendengar. Namun, pertanyaan itu akan menjadi biasa jika mereka
yang “the have” melontarkannya. Ironis memang, tetapi itulah manusia dengan
sisi kehidupannya.
Kemiskinan
hanya salah satu dari sumber penderitaan. Dan, kemiskinan itu relatif lebih
mudah menghilangkannya dari daftar sumber penderitaan manusia. Tidak usah heran
bila ada sekelompok manusia yang bahagia setelah menjadi miskin. Dalam sejarah,
terdapat sejumlah orang yang meninggalkan kekayaan dan sengaja menjadi miskin
untuk mencari kebahagiaan hidup. Dengan kemiskinan itu justru hatinya lebih
bersih, tak terikat nafsu duniawi. Tinggal melawan nafsu yang mementingkan diri
sendiri seperti nafsu untuk dipuja, dikenal, dihormati, disanjung. Lebih dari
itu, nafsu badaniah berupa kenikmatan, kemudahan dan kenyamanan hidup.
Sikap
Umar yang menangis saat menyaksikan langsung ‘pagelaran takwa’ yang dimainkan
secara apik oleh gadis ndeso itu tidaklah berlebihan, karena ternyata di
kalangan rakyat jelata yang dipimpinnya ketaqwaan masih mengakar kuat. Di tengah
kesulitan hidup tidak lantas pembolehan atas kecurangan, pewajaran atas semua
bentuk penipuan. Gadis itu telah mempraktikkan secara nyata bahwa kemiskinan
jangan sampai merusak kemuliaan yang telah Allah berikan kepada manusia. Hati
yang mulia adalah jawaban dari semua ujian hidup yang dialaminya.
Putih
dan bersihnya hati akan mencerminkan perilaku yang benar. Sebaliknya, kotornya
hati akan mencerminkan kecenderungan perilaku yang salah. Semuanya terpulang
pada insan yang memiliki hati. Apakah mampu membasuh hati untuk kebaikan yang
hakiki atau menjerumuskannya ke lembah berbatu cadas untuk menjemput murka
Allah dengan kesalahan yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Categories:
kisah inspiratif